Lojikata, Jakarta – Ketika data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) dirilis pada akhir Juli 2025 ini, satu hal muncul secara dramatis: Provinsi Papua Pegunungan tercatat memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia, yaitu 30,03% dari total penduduknya. Angka ini mengejutkan sebagian publik, namun bagi mereka yang memahami realitas geografis dan ekonomi lokal, angka tersebut adalah refleksi jujur dari ketimpangan struktural.
Secara berurutan, posisi kedua ditempati Papua Tengah dengan persentase 28,9%, lalu Papua Barat sebesar 20,66%, dan Papua Selatan pada 19,71%. Dengan pertumbuhan sosial-ekonomi yang lambat, provinsi-provinsi ini menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia masih sangat terpusat di kawasan timur. Posisi keenam ditempati oleh Nusa Tenggara Timur dengan 18,6%, satu-satunya provinsi non-Papua yang masuk sepuluh besar daftar ini.
Data ini menegaskan bahwa kemiskinan bukan sekadar angka persentase, tetapi representasi ketimpangan infrastruktur, akses pendidikan, layanan kesehatan, hingga konektivitas geografis. Provinsi-provinsi seperti Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan NTT menggambarkan tantangan dimana faktor alam termasuk akses jalan terbatas dan isolasi desa memperkuat struktur kemiskinan warisan selama puluhan tahun.
Tidak cukup hanya menurunkan persentase kemiskinan nasional menjadi 8,47% (sekitar 23,85 juta orang) pada Maret 2025. Inti perbaikannya justru terletak pada bagaimana sumber daya didistribusikan secara adil, dan bukan hanya fokus pada javanya. Intervensi sosial-ekonomi harus diarahkan untuk membalikkan dominasi angka di wilayah yang paling tertinggal.
Papua Pegunungan dengan angka 30%, serta tiga provinsi Papua lainnya, memerlukan pendekatan berbeda: investasi infrastruktur dasar, akselerasi pendidikan formal di wilayah terpencil, dan penguatan ekonomi lokal yang relevan. Bagi NTT, sinergi antara bantuan sosial, pembangunan akses darat dan laut, serta pengembangan ekonomi desa terutama pariwisata dan UMKM berbasis identitas budaya adalah pilihan strategis agar ekonomi lokal dapat bergerak setara dengan akses yang semakin terbuka.
Kebijakan bukan lagi soal menambah bantuan uang semata, tetapi membangun ekologi sosial yang mampu menghidupkan sendiri, memberi ruang pada warga lokal untuk memimpin pembangunan, bukan hanya menjadi objek studi dan statistik. (IN/LJK)
Sumber: CNN Indonesia https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250728095844-532-1255649/5-provinsi-di-ri-dengan-angka-kemiskinan-tertinggi