Lojikata, Samarinda – Di sebuah sudut hangat di Gamelan 12 Coffee & Eatery, Samarinda, deretan panel karya mahasiswa Prodi Arsitektur Untag berdiri anggun. Sabtu, 28 Juni 2025, ruang itu disulap menjadi arena dialog publik, bukan sekadar ujian akhir semester, tetapi juga cara mahasiswa menyapa masyarakat luas lewat gagasan yang mereka wujudkan dalam bentuk maket, sketsa, dan presentasi.
Mata kuliah Studio Perancangan Arsitektur 5 (SPA5) yang dipamerkan ini membawa tema besar: “Waterfront Guesthouse Samarinda” sebuah proyek berbasis lahan tepi Sungai Karang Mumus, Samarinda Ilir, seluas 5.117 m². Mahasiswa merancang konsep guesthouse 4–6 lantai dengan fasilitas multifungsi, menyatukan hunian, ruang kerja, foodcourt, serta integrasi dengan tata guna lahan dan kearifan lokal.

Dalam wawancara eksklusif dengan Lojikata, dosen pembimbing, Achmad Ricky Zulfahmiddin, ST., M.S.P, menegaskan bahwa pameran ini bukan hanya formalitas akademik, melainkan strategi memperkenalkan arsitektur ke masyarakat Samarinda.
“Project Based Learning. Sebesar 5 SKS. Kami ingin mengenalkan arsitektur sebagai ilmu yang lebih luas dari sekadar gambar cantik. Di dalamnya ada desain, regulasi, tata guna lahan, sampai dinamika komunitas. Dan salah satu inisiatif teman-teman mahasiswa juga untuk menunjukkan hasil karyanya ke khalayak,” jelas Ricky.
Ia juga menyoroti pentingnya dukungan akademis yang lebih serius terhadap inisiatif-inisiatif semacam ini, “Masih butuh perhatian lebih dari lingkungan akademis terhadap kegiatan-kegiatan begini. Harapannya arsitektur di Samarinda bisa jadi lebih kompleks, diskusinya hidup, bukan hanya pekerjaan visual. Itu PR kita bersama.” lanjutnya dengan nada reflektif.

Dosen Ricky bersama Tiffany Prananingrum Bluezynski S.T., M.Arch menjelaskan bahwa metode ujian ini menggunakan pendekatan progressive dengan exposed thinking, di mana publik diberi kesempatan ikut menilai karya mahasiswa. Skema penilaian diambil dari interaksi mahasiswa dengan pengunjung, mencerminkan semangat inklusif yang semakin penting di dunia arsitektur modern.
Pameran juga diharapkan menjadi ajang silaturahmi antar mahasiswa arsitektur di Samarinda, memperkuat jejaring komunitas muda arsitektur yang masih relatif cair di kota ini.
Pameran ini memberi pesan jelas: arsitektur bukan hanya tentang bangunan indah yang berdiri diam, tetapi tentang proses berpikir, interaksi sosial, dan perencanaan kota yang berkelanjutan. Samarinda, dengan sungainya yang penuh cerita, butuh lebih banyak diskusi seperti ini, supaya masa depan kotanya tak hanya ditentukan oleh investor atau regulasi, tetapi juga oleh mimpi-mimpi para perancang muda yang berpijak pada tanahnya sendiri.
LOJIKATA melihat inisiatif semacam ini sebagai strategi cerdas memperluas literasi ruang kota, sekaligus memperkuat identitas Samarinda sebagai kota yang tak takut berdialog dengan masa depan. (DS/LJK)