Lojikata, Jakarta – Ketika Amerika Serikat dan Indonesia menyepakati tarif nol persen untuk lebih dari sembilan puluh sembilan persen produk AS, masyarakat sempat berharap smartphone iPhone bisa ikut turun harga. Namun di balik euforia tarif nol, sayangnya iPhone tidak termasuk dalam kelompok bebas bea masuk itu.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menjelaskan bahwa skema ini tidak berlaku untuk semua barang. Ada sebagian kecil produk, seperti minuman beralkohol dan daging babi, yang memang dikecualikan. Di dunia nyata kebijakan ini membukakan akses murah bagi produk seperti suku cadang pesawat, BBM, farmasi, tetapi iPhone tetap di luar daftar. Sebab meski merek Apple adalah korporasi AS, produk ini diproduksi di China, bukan di Amerika Serikat.
Bhima Yudhistira dari Center of Economic and Law Studies menyoroti bahwa keputusan ini bukan hal sederhana. “Dampak dari 0 persen tarif produk Amerika itu bukan iPhone-nya yang murah karena iPhone made in China,” ujarnya, menegaskan bahwa kritik publik terhadap kenaikan harga smartphone tidak relevan dalam konteks ini.
Pemerintah memang menyasar kebijakan sebagai cara memperluas akses teknologi Amerika seperti mesin, farmasi, dan kendaraan, sembari menjaga keberlanjutan industri domestik. Namun untuk iPhone, daya beli konsumen tetap ditentukan rantai pasok global dan struktur bea masuk yang kompleks, bukan sekadar perjanjian tarif bilateral.
Tarif nol persen bukan jaminan bebas biaya bagi semua produk bermerek AS. Ini adalah bukti bahwa inti kebijakan perdagangan terletak pada jalur produksi dan asal barang, bukan label merek. Jika tujuan kebijakan ini adalah memperkuat hubungan AS–RI, maka kelak kita harus menata isu perdagangan sedemikian rupa sehingga manfaatnya tepat menyentuh konsumen nyata, bukan sekadar memenuhi janji headline semata.
Sumber: CNBC Indonesia https://www.cnbcindonesia.com/tech/20250721112827-37-650817/nasib-harga-iphone-di-ri-usai-tarif-impor-produk-as-turun-ke-0