Lojikata, Samarinda – Saat konferensi pers berlangsung pada 4 November 2024, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati hadir bukan sekadar sebagai narator cuaca. Ia adalah akademisi dan teknokrat yang menyulam data menjadi peringatan, bahwa tahun 2025 mendatang, suhu Indonesia diprediksi mengalami peningkatan antara 0,3 hingga 0,6 derajat Celsius, paling terasa pada kisaran Mei hingga Juli 2025.
Kenaikan rata-rata suhu sebesar 0,4°C mungkin terdengar sederhana. Namun di balik angka itu tersembunyi potensi resiko nyata: meningkatnya kekeringan, tekanan terhadap sistem air bersih, hingga risiko kesehatan seperti dehidrasi dan heatstroke. Wilayah seperti Sumatera bagian selatan, Pulau Jawa, NTB, dan NTT diperkirakan menjadi yang paling merasakan intensitas panas ini.
Menariknya, meski suhu naik, kondisi iklim global seperti ENSO dan IOD diperkirakan akan tetap netral, sementara La Niña lemah hanya akan memperlemah musim, bukan memperpanjang tekanan panas . Ini berarti, hujan tahunan tetap berada dalam kisaran 1.000–5.000 mm, sehingga fenomena ekstrem seperti gelombang panas besar kemungkinan terhindarkan.
Peringatan ini membawa beban tindakan nyata. BMKG mengajak masyarakat untuk menjaga konsumsi air, melindungi diri dari sinar UV dengan topi dan tabir surya, serta berhati-hati terhadap potensi kebakaran lahan. Pemerintah daerah pun didorong untuk segera menyiapkan mitigasi melalui penyiraman darat dan patroli wilayah rawan ﹣untuk menghindari lanjutan kerusakan lingkungan.
Perubahan suhu sebesar 0,4°C bukanlah angka biasa. Ia adalah alarm alam yang memanggil setiap warga negara untuk berpikir ulang tentang cara hidup bersama alam. Inilah momentum untuk menjadikan kesadaran iklim sebagai bagian dari budaya kolektif dengan literasi cuaca, kesiapsiagaan publik, dan kerjasama lintas sektor. Karena jika kita memutuskan untuk merespons, maka suhu panas itu bisa menjadi undangan bagi perubahan, bukan penghakiman yang kita taklukkan. (IN/LJK)