Lojikata, Jakarta – Pada akhirnya, konflik yang telah lama membayang di sepanjang perbatasan Kamboja dan Thailand pecah menjadi kenyataan. Sejak 24 Juli 2025, ketegangan di daerah Ta Muen Thom dan Preah Vihear bertumbuh menjadi pertempuran yang lebih serius dari sebelumnya, dengan lebih dari 38 korban jiwa dan lebih dari 200.000 warga terpaksa mengungsi.
Konflik ini dipicu oleh ledakan ranjau yang melukai tentara Thailand, yang kemudian disusul oleh pertukaran artileri, serangan roket, bahkan serangan udara oleh pesawat tempur F‑16. Beberapa situs warisan budaya pun terkena dampaknya, seperti kuil Ta Muen Thom, serta jalan utama dan stasiun pengisian bensin yang juga menjadi sasaran tembakan.
Dalam bayang-bayang konflik, pengaruh global turut diterjemahkan. Republik Rakyat Tiongkok yang dekat dengan Kamboja membuka ruang konsultasi serta mendorong proses perdamaian. Di sisi lain AS, sebagai sekutu Thailand, menggunakan instrumen diplomasi ekonomi dan politik, memperlihatkan bahwa perang kini seringkali musnah lewat pembicaraan tarif dan bukan hanya lewat dialog militer.
Ketegangan di perbatasan Thailand–Kamboja bukan hanya soal klaim wilayah atau candi kuno. Ia merupakan panggung geopolitik yang menempatkan ASEAN, China, dan AS dalam operasi strategis narasi dan kekuatan. Ketika penduduk lokal menjadi korban, gencatan senjata menguap seperti janji kosong tanpa tindak lanjut mekanisme perdamaian. Posisi Indonesia, seperti ASEAN, bukan berada di garis depan tetapi diarahkan oleh prinsip dialog dan rekonsiliasi bukan dominasi kekuatan. Jika gencatan ini hanya sementara, maka yang sebenarnya kita tandai bukan akhir perang, tetapi kewaspadaan dalam menjaga perdamaian yang rapuh. (IN/LJK)
Sumber: SINDOnews.com https://international.sindonews.com/read/1598291/40/perang-thailand-kamboja-sekutu-as-bersenjata-kuat-vs-musuh-lemah-tapi-didukung-china-1753571276/28