Lojikata, Jakarta – Di Jawa Timur, sesuatu yang dulu dianggap bagian dari perayaan rakyat kini berubah menjadi pusat perdebatan serius: penggunaan sound horeg. Rangkaian speaker dan musik yang tak kalah kerasnya dengan kerumunan pesta jalanan mendulang respons Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat, yang dalam fatwa resmi menyatakan bahwa sound horeg dapat menjadi haram bila melanggar norma, terutama terkait gangguan, intensitas suara yang melebihi batas wajar, dan dampak terhadap lingkungan sosial sekitar.
Di satu sisi, kubu pendukung berargumen bahwa sound horeg adalah tradisi hiburan rakyat yang tak hanya membingkai kebahagiaan, tetapi juga memberi lapangan kerja dan peluang ekonomi. Banyak pedagang, penyedia perangkat suara, hingga pemilik acara menaruh harapan agar regulasi tidak meredam kreativitas dan sumber penghidupan warga kecil.
Berita Terkait
Di sisi lain, kubu penentang mengangkat suara yang terdengar, bukan hanya secara fisik, tetapi secara simbolis. Mereka menyebutkan bahwa suara bising dari sound horeg bisa mengganggu ketenangan, merusak kesehatan pendengaran, dan bahkan menyalahi hak orang-orang yang tidak ikut memilih kebisingan sebagai bagian dari hiburan mereka. Beberapa tetangga merasa terganggu lewat malam, anak-anak kesulitan tidur, dan pemilik hewan peliharaan stres karena getar suara.
MUI Jawa Timur tidak menolak keberadaan sound horeg secara total. Fatwa mereka memberi catatan bahwa penggunaan sound horeg tetap diperbolehkan bila sesuai syariat, tak memperkirakan mengganggu ketertiban umum, dan mempertimbangkan izin, intensitas, serta lokasi pemakaian. Artinya, bukan suara atau musiknya yang selalu dipermasalahkan, tetapi konteksnya.
Para pejabat pemerintah daerah pun merespons dengan kewaspadaan. Beberapa utama meminta regulasi lokal yang jelas, tentang jam, volume suara maksimum, dan sanksi bagi pelanggaran. Ada usulan agar Sound Horeg wajib mengantongi izin, dilengkapi dengan alat pengukur decibel, dan ada zona-zona khusus hiburan dengan batas-batas suara yang diatur pemerintah.
Sound horeg menyingkap dua sisi budaya publik yang sering bersinggungan: kegembiraan kolektif dan hak atas ketenangan. Tradisi rakyat jangan dinyatakan haram tanpa dialog kontekstual, dan regulasi tak boleh meredam kreativitas hanya karena suara. Tapi juga, ruang publik bukan panggung bebas suara tanpa batas.
Kebijakan yang ideal akan menjadi kompromi yang menghormati budaya, ekonomi kecil, serta kesejahteraan bersama. Dalam setiap desibel yang diturunkan lewat regulasi, mahasiswa, pedagang, tetangga, hewan, dan tidur anak-anak harus tetap ada dalam pertimbangan. Memang, dalam kebisingan perdebatan ini, suara keadilan dan keseimbangan haruslah paling jelas. (IN/LJK)
Sumber: CNN Indonesia https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250731115143-20-1257103/mengatur-sound-horeg-di-tengah-fatwa-haram-dan-lantang-dukungan