Lojikata, Samarinda – Dalam ledakan pesat era kecerdasan buatan, ada satu ironi yang tak banyak dibicarakan: betapa teknologi ini, yang menjanjikan efisiensi dan kemajuan, ternyata sangat bergantung pada air. Bukan sekadar setetes dua tetes, melainkan dalam skala yang begitu masif untuk proses pendinginan dan pembangkitan energi listrik yang menopang pusat-pusat data raksasa di seluruh dunia.
Pada saat yang sama, dunia menghadapi kenyataan pahit. Separuh populasi global kini hidup dalam bayang-bayang kelangkaan air dan dampak nyata perubahan iklim. Fakta ini ditegaskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang mengingatkan bahwa krisis air bukan sekadar masalah masa depan, melainkan persoalan yang sudah mengetuk pintu-pintu rumah kita hari ini.
Permintaan terhadap teknologi AI yang kian menjalar ke segala sektor kehidupan memperparah tekanan terhadap sumber daya air. Setiap ekspansi pusat data, setiap pelatihan model AI skala besar, dan setiap proses komputasi berat, membawa serta beban ekologis yang tak bisa lagi diabaikan.
Sarah Ibrahim, jurnalis BBC World Service, merangkum kegelisahan global itu dalam pertanyaan reflektif, “Akankah ekspansi AI yang pesat justru memperburuk situasi ini?” Pertanyaan itu tak hanya relevan, tapi mendesak. Di titik inilah umat manusia dihadapkan pada dilema antara inovasi dan keberlanjutan.
Kini, narasi kemajuan tak bisa lagi dilepaskan dari tanggung jawab ekologis. Teknologi tidak boleh tumbuh dengan rakus, menghisap habis sumber daya yang menjadi hak semua makhluk hidup. Pertumbuhan harus bijak, dan kemajuan harus bertanggung jawab. (IN/LJK)
Sumber: BBC Indonesia https://www.bbc.com/indonesia/articles/c20n2q29lz3o