Lojikata, Jakarta – Ketika hujan ekstrem membelah langit Uttarakhand, India, alam menampilkan sisi paling ganasnya. Sebuah cloudburst, hujan deras lokal yang tiba-tiba, meluncurkan banjir bandang ke lembah pegunungan yang rindang. Di Desa Dharali, aliran air dan lumpur menghantam tanpa ampun pada 5 Agustus 2025, menyebabkan empat orang tewas dan sekitar 100 lainnya hilang di tengah reruntuhan yang mengubur rumah dan harapan. Tim penyelamat pun merespons dengan skala darurat, seolah tengah menghadapi medan perang alam.
Fenomena cuaca seperti ini bukan sekadar kejadian langka. Di pantai Himalaya yang rapuh, cloudburst telah menjadi alarm alam: hujan ekstrem yang menuntut kesiapsiagaan komunitas lebih dari retorika mitigasi sementara.
Empat jiwa yang hilang bukan sekadar statistik. Mereka adalah warga, peziarah, atau buruh yang tersedak oleh kekuatan alam yang tak terduga. Dan di sinilah letak pelajaran penting: ketika pembangunan tak selaras dengan mitigasi risiko, tragedi bukan soal “jika”, melainkan “kapan”.
Kasus ini menuntut perspektif baru, bahwa keterbukaan data, kesiapsiagaan lokal, dan peta risiko yang jelas bukan barang mewah, tetapi fondasi kewaspadaan. Alam tak bisa dicakup sistem, tetapi kelalaian manusianya bisa dibayar dengan korban nyata. (IN/LJK)
Sumber: CNBC Indonesia https://www.cnbcindonesia.com/news/20250806125256-4-655552/hujan-ekstrem-picu-banjir-bandang-makan-korban-jiwa-ratusan-hilang