Lojikata, Gaza Utara – Gaza Utara kembali memanggil perhatian dunia. Bukan karena perjanjian damai atau pembangunan harapan, melainkan karena penderitaan yang tak lagi mampu dibahasakan dengan narasi diplomatik biasa. Ketika kabar dari wilayah itu sampai ke ruang sidang dan layar-layar berita, kata yang muncul dari Perserikatan Bangsa-Bangsa bukanlah “darurat”, bukan pula “krisis”, tetapi satu kata yang mengguncang: “apokaliptik”.
Deskripsi ini bukanlah retorika. Gaza Utara sedang mengalami kehancuran sistemik yang melampaui batas toleransi kemanusiaan. Rumah-rumah runtuh bukan hanya oleh bom, tetapi juga oleh kelaparan, kehausan, dan ketakutan yang tak kunjung reda. Infrastruktur yang pernah menopang kehidupan warga sipil kini hanya menyisakan puing. Sekolah berubah menjadi tempat perlindungan, rumah sakit bertransformasi menjadi ruang duka yang tak kunjung sepi.
Berita Terkait
“Kondisinya di luar bayangan,” ungkap Martin Griffiths, Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan dan Koordinasi Bantuan Darurat. Ia adalah seorang diplomat yang sepanjang kariernya telah menyaksikan banyak zona konflik, dari Yaman hingga Sudan. Tetapi kali ini, bahkan ia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Ini bukan lagi tentang perang. Ini tentang kehancuran menyeluruh dari nilai kemanusiaan itu sendiri.”
Sementara dunia masih terpecah antara kecaman dan pembenaran, rakyat Gaza berjuang bukan untuk ideologi, melainkan untuk bertahan hidup. Dalam sunyi yang membeku, anak-anak tumbuh dengan suara rudal, bukan dongeng. Ibu kehilangan anak bukan karena penyakit, tetapi karena roket. Lelaki kehilangan rumah bukan karena utang, tetapi karena artileri.
Ini bukan semata soal geopolitik, tetapi soal keberanian dunia untuk kembali mengakui bahwa setiap nyawa punya harga. Setiap manusia punya hak untuk hidup tanpa teror. Krisis Gaza bukan lagi halaman kecil di laporan kemanusiaan tahunan. Ia telah menjelma babak gelap sejarah yang akan dikenang, atau dilupakan, tergantung pada keberanian dunia hari ini.
Jika kata “apokaliptik” sudah digunakan oleh PBB, mungkin sudah saatnya umat manusia bertanya: berapa lama lagi kita akan mengabaikan peringatan ini? (IN/LJK)