Lojikata, Samarinda – Langit mendung Samarinda sepanjang triwulan kedua tahun ini bukan sekadar fenomena cuaca biasa, bagi industri batu bara Kalimantan Timur, hujan deras yang terus-menerus telah memberi dampak signifikan. Produksi komoditas andalan provinsi ini tercatat turun hampir 19 persen, sebuah angka yang cukup untuk mengguncang proyeksi kinerja dan menuntut evaluasi serius dari para pelaku usaha.
Berdasarkan laporan resmi yang dihimpun hingga Juni 2025, total produksi batu bara Kaltim berada di bawah target tahunan, dengan curah hujan ekstrem menjadi penyebab utama. Jalur logistik terganggu, pit tambang tergenang, dan efisiensi operasi menurun tajam, ini semua menjadi realitas yang tidak bisa diabaikan.
Penurunan produksi ini menegaskan bahwa ketergantungan pada cuaca dan keterbatasan adaptasi teknologi di sektor tambang masih menjadi kelemahan utama industri ekstraktif di Kaltim. Banyak tambang belum sepenuhnya memiliki sistem drainase, pompa, dan strategi mitigasi risiko iklim yang memadai untuk menghadapi pola cuaca yang kian tidak menentu akibat perubahan iklim global.
“Alam sedang berbicara kepada kita. Ini bukan sekadar soal target meleset, tetapi soal bagaimana kita menyusun ulang strategi industri yang lebih tangguh terhadap variabilitas cuaca,” komentar salah satu pengamat energi kepada LOJIKATA.
Kisah hujan yang menenggelamkan lubang tambang ini mengingatkan kita bahwa tidak ada industri yang kebal terhadap hukum alam. Jika Kaltim ingin tetap relevan sebagai pemain energi dan lebih jauh, sebagai model pembangunan yang berkelanjutan, maka penurunan produksi 19 persen ini seharusnya dibaca sebagai sinyal untuk memperkuat resilien dan mempercepat transformasi.
Lojikata mencatat: Samarinda, Kutai Kartanegara, Berau, dan Paser kini menghadapi tantangan yang sama, bukan hanya untuk menggali batubara, tetapi juga untuk menggali cara baru berpikir tentang masa depan ekonomi yang lebih adaptif terhadap hujan yang makin deras dan bumi yang makin murung. (DS/LJK)