Lojikata, Samarinda – Di sebuah ruang di Bandung, pada tanggal 17 September 1959, segelintir pemikir yang juga perancang ruang berkumpul dengan satu tekad: mendirikan sebuah wadah profesional bagi arsitek Indonesia. Dari pertemuan itulah lahir Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), organisasi yang hingga kini menjadi rumah besar bagi lebih dari 26.000 arsitek di seluruh penjuru negeri dan satu perwakilan di luar negeri.
Selama enam puluh lima tahun perjalanan, IAI tidak hanya mencatatkan diri sebagai organisasi profesi, tetapi juga sebagai saksi dan aktor dalam evolusi cara bangsa ini memandang ruang. Dari 34 kepengurusan provinsi, IAI menjelma sebagai penopang martabat profesi yang di awal kemerdekaan bahkan belum punya aturan yang jelas, hingga kini menjadi perwakilan resmi arsitek Indonesia di forum-forum internasional seperti Union Internationale des Architectes (UIA).
Di bawah kepemimpinan Ar. Georgius Budi Yulianto, IAI, AA, yang terpilih sebagai ketua umum untuk periode 2024–2027, IAI memasuki fase yang lebih kompleks: menjaga tradisi sambil menghadapi tantangan integrasi dengan Dewan Arsitek Indonesia (DAI) yang muncul setelah lahirnya Undang-Undang Arsitek tahun 2017. Dengan latar belakang arsitek yang lama terlibat di pendidikan berkelanjutan, Georgius membawa nada baru untuk mempertegas peran IAI dalam mendorong praktik yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Sepanjang sejarahnya, IAI tak hanya menyusun kode etik, merumuskan standar praktik, dan mengelola sertifikasi keahlian, tetapi juga aktif mendidik publik melalui seminar, pelatihan, dan pendidikan berkelanjutan. Mereka menyadari, dalam masyarakat Indonesia yang masih memandang arsitek sebagai sekadar “tukang gambar”, peran IAI adalah mendobrak persepsi itu: bahwa arsitek adalah penata ruang peradaban, bukan sekadar pelengkap bangunan.
Nama-nama besar seperti Achmad Noe’man, salah satu pendiri IAI yang dijuluki “Arsitek Seribu Masjid,” dan Mas Abukassan Atmodirono, arsitek bumiputera pertama Indonesia, selalu dikenang bukan hanya karena karya-karya mereka yang monumental, tetapi juga karena keberanian mereka memberi warna lokal pada wajah modernitas. Figur-figur ini mencerminkan bahwa profesi arsitek, di tanah yang kaya budaya seperti Indonesia, selalu terikat dengan identitas bangsa.
Lojikata mencatat, dalam lima tahun terakhir, IAI telah memperlihatkan keberpihakan pada isu lingkungan melalui kampanye arsitektur berkelanjutan. Sebuah langkah yang tepat di tengah tantangan krisis iklim global dan ledakan urbanisasi yang kadang melupakan prinsip keberlanjutan. Di balik angka-angka anggota yang melonjak setelah regulasi sertifikasi diberlakukan, yang lebih penting adalah bagaimana IAI tetap bisa menanamkan nilai bahwa arsitektur bukan hanya soal estetika, tetapi juga etika, tentang bagaimana merancang bukan hanya untuk zaman ini, tetapi juga untuk generasi yang belum lahir.
(LJK1/DS)