Lojikata, Bandung – Tidak banyak yang tahu bahwa sistem kode pos Indonesia yang kini digunakan secara nasional sejak 1985 ternyata berakar dari bait lagu legendaris “Dari Sabang Sampai Merauke”.
Adalah Marsoedi Mohamad Paham, mantan Direktur Utama Perum Pos dan Giro, sosok di balik terciptanya sistem lima digit kode pos yang memudahkan penyortiran surat dan paket di seluruh Indonesia. Ia menjabat posisi tersebut antara tahun 1987 hingga 1995, namun gagasan soal kode pos sudah dirancangnya sejak awal 1980-an.
Berita Terkait
“Dari Barat sampai ke Timur, berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu. Itulah Indonesia,” ujar Marsoedi mengingat inspirasi awalnya saat diwawancarai di rumahnya di Bandung, Selasa (29/10).
Sistem yang Teliti dan Sarat Makna
Lima digit dalam kode pos Indonesia disusun dengan sistematis: digit pertama menunjukkan wilayah kerja pos yang mencakup beberapa provinsi, digit kedua dan ketiga merujuk pada kabupaten/kota, digit keempat untuk kecamatan, dan digit kelima untuk kelurahan.
Digit pertama dimulai dari angka 1 untuk Jakarta, lalu berlanjut dari 2 hingga 9 sesuai letak geografis dari barat ke timur Indonesia:
Menurut Marsoedi, tanpa kode angka yang terstruktur, proses sortir surat akan jauh lebih rumit. “Saya tetapkan lima angka, maka petugas akan tahu surat itu harus dikirim ke mana,” jelasnya.
Dari VOC ke Pos Modern
Layanan pos Indonesia berakar dari masa kolonial, saat VOC mendirikan kantor pos pertama di Batavia pada 1746. Layanan terus berkembang hingga masa kemerdekaan, di mana pemerintah Indonesia mengambil alih dan membentuk Djawatan Pos, Telegraf dan Telepon, lalu menjadi PN Pos dan Giro pada 1960-an.
Marsoedi, yang kala itu menjabat sebagai Kepala Bangunan dan Kendaraan Pos, juga dikenal sebagai arsitek desain gedung-gedung pos serta penggagas mobil pos keliling berbasis Volkswagen Combi untuk menjangkau daerah pelosok.
Disusun dengan Teliti, Diuji ke Dunia
Pada 1980, ia mengusulkan sistem kode pos kepada direksi dan Presiden Soeharto. Ia kemudian mempelajari sistem kode pos dari berbagai negara seperti Belanda, Italia, Jepang, dan Prancis. Tahun 1981-1982, ia menjalani pendidikan pos di Lyon, Prancis.
Setelah uji coba internal sejak 1982, sistem ini diperluas ke DKI Jakarta pada 1983, dan akhirnya berlaku secara nasional mulai 1 Agustus 1985.
“Karena Indonesia itu luas sekali. Kalau kurang dari lima angka, sortir surat akan lebih sulit,” tandas Marsoedi, yang juga gemar mengoleksi prangko dan uang asing sejak 1961.
Sumber: BBC News Indonesia https://www.bbc.com/indonesia/articles/cdj3y9wwx8lo